Monday, June 23, 2008

SEKILAS CERPEN

BAGAI ANGIN LALU


KA Jayabaya, pukul 16.00 WIB
Suasana gerbong 4 Kereta Api begitu sangat santai melaju, gontai pula aku duduk dalam kursi sender ini, sesekali aku melempar pandanganku kearah jendela, lalu terdiam menyimak pramuniaga yang lalu lalang dan terkadang menawarkan makanan kepadaku, ku tolak halus dengan senyuman.

Udara dingin AC dalam KA terasa menggigilkan tubuhku, rasa lelah, penat dan penasaran menyergap dalam hati, lalu kurapatakan tubuhku dalam selimut tipis yang sengaja kubawa.
“Ah…lumayanlah untuk menyerang hawa dingin ini”. Gumamku dalam hati.
Kereta melaju beraturan, sesekali terasa cepat dan terdengar bunyi rel dan sirine berbenturan dengan kereta lewat lainnya.
“Uuuuhh…rasanya koq lama sekali kereta ini sampai”. Gerutuku dalam hati
Beruntung rasa beteku agak sedikit terkurangi dengan kehadiran anak kecil lucu, cerewet dan pintar yang menyapaku dan mengajakku berbincang. Binar matanya mengingatkanku pada gadis kecilku di rumah. Kira- kira usia 2,5 tahun, aku kagum dengan kecerdasanya yang mampu mengusai 3 bahasa.
”Wow...keren banget, usia sekecil itu sudah pandai”. Seruku memujinya

Akhirnya Kereta tiba tepat pada waktunya, aku bergegas mengemasi barang- barang menuju pintu keluar stasiun, aku turuni anak tangga. Sambil sesekali mataku mencari sosok yang aku cari. Lalu....
”Hai...sayang”. Sapanya sambil menepuk punggungku
”Lelah ya?..Sorry aku agak terlambat menjemput, macet banget tadi, soalnya ada demo”. Ujarnya beralasan.
”Ga apa- apa, aku juga baru sampai koq”. Balasku dengan uluran tangan menyalaminya.

”Hmmm...pria ini begitu antusias juga”. Aku tertegun dalam hati
”Pria yang masih asing ini menurutku cukup baik, walau terkadang aku kurang nyaman dengan tatapan matanya, entahlah...rasanya koq aneh???”. Hatiku berkecamuk dengan segudang tanya.

Lalu dia mengiringiku menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari Stasiun. Kucoba senderkan tubuhku di jok mobil, sambil kupandangi kota ini yang dulu pernah menjadi saksi sejarah perjalanan hidupku dan kuperhatikan sejenak aksi demo- demo dijalanan serta lampu- lampu malam yang menjadi ciri khas kota- kota besar.
Tak kuhiraukan pria ini yang terus mencuri pandang padaku, aku terlarut dalam fikiranku tentang aku dan masa laluku.

Kembali kurebahkan tubuhku,...
”Kamu lapar, sayang?”. tanyanya dengan nada sumbang
”Aku tidak begitu lapar, kalau kamu mau makan aku temani?”. tawarku dengan sopan
”Bagimana kalau kita makan ditempat yang sudah kita pesan?, sepertinya akan terasa lebih enak tuh?”. Jawabnya memberi altenatif
”Ok..”. Jawabku singkat

Hatiku berbunga- bunga tatkala harapanku untuk dapat melihat pemandangan lampu kota dari atas gedung bertingkat akan segera terwujud. Dia bilang sengaja pesankan Kafe dilantai atas khusus untukku, agar aku bisa melihat hamparan lampu kota yang indah di malam hari. Ada bahagia menyeruak dalam hatiku ketika attensi itu tertuju padaku.
”Yah...biasalah, perempuan emang seneng kalu dipertahatikan”. Gumamku beralasan

Tidak terlalu sulit perjalanan ini kita tempuh, hanya dengan makan waktu 15 menit akhirnya kita sampai ditempat yang dituju. Segera kita menuju lantai 23, Kafe Senotaria tak begitu ramai pengunjung. Dengan lampu remang- remang, hanya berhiaskan lilin yang terkesan romantis menambah suasana nyaman dan syahdu. Kududuk terpaku sambil kupandangi pemandangan yang sudah lama aku rindukan....

”Hmmm...kota ini tidak banyak berubah”. Sejenak aku tertegun
Kurasakan ada desiran halus menyentuh hatiku, tapi tersendat tatkala mataku beradu pandang dengan pria di hadapanku.

Akhirnya semakin jelas aku bisa melihat wajahnya, sesaat dia melempar senyum padaku.
”Bagaimana dengan pemandangannya sayang? Bagus kan?”. Dia bertanya padaku
”Lumayan...aku suka dengan alam?, banyak inspirasi yang aku dapat dari sana karena alam begitu jujur?”. Jelasku padanya
Banyak hal yang dia tanyakan padaku dan kujawab sekenanya
.

Malam itu seharusnya bisa mengurangi rasa penatku, setelah perjalanan 5 jam dari kotaku, Tapi.... Entah apa yang ada dalam benakku saat itu, rasa hambar begitu kuat mendesak dalam dadaku, rasa gelisah ini makin membuatku tak begitu nyaman. Aku berusaha menggeser posisi dudukku agar bisa mengurangi resah ini, kucoba menghela nafas dan merilekskan tubuhku.

Kupandangi pria aneh yang saat itu ada didepanku....
Pria hangat dan bersahabat ini tampak begitu luwes berbicara tentang diri dan pengalamannya. Cukup matang pola fikirnya, dewasa dan simple. Walau terkadang aku kurang suka tatkala dia berbicara narsis tentang dirinya. Aku tersenyum kecut saat alur pembicaraanya hanya tertuju pada kebanggaan- kebanggaan dirinya saja.
”Yeahh..Ego juga nih cowok!”. Seruku dalam hati
”Males banget, kalau begini saja yang ia bicarakan”. Aku terus bergumam dalam hati.
Dia begitu asyik dengan dirinya saja, tanpa menghiraukan aku sama sekali. Masygul rasanya aku mendengar ceritanya. Sekalipun aku cerita, dia tidak begitu tertarik.

Aku menghela nafas panjang........
Mungkin karena kematangan usia dan pengalamannya, membuat dia begitu keras dan kaku”. Aku mengibur diri
Hampir saja aku tidak dapat mengimbangi reaksinya, beruntung aku bisa mencairkan suasana dengan candaanku. Dan sesekali aku terdiam, untuk melapisi adaptasi terhadap dirinya, namun sekali lagi aku sama sekali tidak bisa menebar nyaman dalam dirikku.

Malam,....terus berlalu, tanpa ada ceremony apapun. Sepanjang malam itu aku hanya menjadi pendengar yang baik, kusimak setiap kata- katanya dan kuperhatikan ekspresi wajahnya yang datar. Ada sedikit sesal dalam hatiku karena rasa penat dan lelah ini tak kunjung usai. Malam yang aku impikan hilang bagai angin senja bersilang lalu.

Malam begitu larut....
segera kubergegas meninggalkan Kafe itu tanpa kesan. Dia genggam tanganku sambil berlalu dari tempat itu. Aku terdiam membisu dalam anganku. Kutersenyum tatkala segalanya akan segera usai, tak ada yang tersisa dan tak ada yang patut dikenang, semuanya berlalu begitu saja.

Saat ini aku tertegun, ingatanku melayang pada keadaan sebelum pertemuan itu terjadi. Sosok pria ini begitu berambisi sekali betemu denganku, dia meyakinkan aku dengan berbagai alasan dan permohonan.

Berondong kata- kata mesra yang kemaren dia ucapkan pun kini hilang seiring dengan usainya pertemuan malam itu. Aku tersenyum mengingat kejadian tersebut, sambil tertegun aku berucap...
”Malang benar nasib wanita, kalau sampai kejadian tersebut dirasakan dengan HATI!”....
(Jakarta, Juni 2008)

0 comments:

KOMENTAR ANDA