JANGAN SALAH GUNAKAN UNDANG- UNDANG ITE
Jakarta, Kompas - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak bisa sembarangan dipakai untuk menjerat warga yang dituduh mencemarkan nama baik orang atau pihak tertentu. Jangan sampai hukum dipakai sebagai alat oleh pemilik modal dan penguasa.
Demikian rangkuman wawancara Kompas, Sabtu (6/6), dengan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dan dua anggotanya, Wikrama Iryans Abidin dan Bekti Nugroho, serta mantan Wakil Ketua Pansus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga anggota Komisi IX DPR, Yasin Kara.
Menurut Leo Batubara, kasus Prita Mulyasari yang dipidanakan karena mengirimkan surat elektronik tentang kekecewaannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit hanyalah satu contoh dari beberapa kasus penggunaan media internet untuk tujuan positif, yang justru berujung pada perkara hukum.
Yang harus diingat, perangkat hukum dibuat bertujuan menciptakan keadilan, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Untuk itu, penegak hukum harus kembali mengacu pada tujuan awal itu setiap kali bertindak.
Menurut Wikrama, sejak awal rencana pembuatan UU ITE, pihak media, termasuk Dewan Pers, tidak pernah dimintai pendapat. Dengan demikian, UU ITE tidak merepresentasikan kepentingan publik, apalagi UU ITE dianggap berpotensi melumpuhkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat, mengkritik, dan mengeluh.
Yasin Kara menyatakan, Undang-Undang ITE tidak perlu dihapus. Namun, jika revisi dibutuhkan, sebaiknya segera dilakukan. Revisi tidak hanya berupa pengurangan materi, tetapi bisa juga berupa penambahan. Terkait dengan Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, penambahan keterangan atau ketentuan patut diberikan agar pasal tersebut tidak menjadi pasal karet.
Dalam kaitan dengan penggunaan Pasal 27, Yasin menilai ada salah kaprah pemahaman dari jaksa penuntut umum. Pasal 27 memang tidak termasuk pasal-pasal dalam UU ITE yang butuh peraturan pemerintah, tetapi penggunaan pasal itu dalam kasus Prita tidak relevan karena pasal itu justru membicarakan soal hak atas suatu informasi.
Landasan hukum
Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Infomatika Cahyana Ahmadjayadi membantah pendapat yang menyebutkan UU ITE bakal menghambat kebebasan berpendapat setiap orang. ”Tidak betul pendapat itu,” ujarnya.
Ia menyebutkan, UU ITE dibuat untuk memberikan landasan hukum transaksi dan komunikasi elektronik, seperti e-business, e-commerce, dan e-banking.
Berkaitan dengan kasus yang menimpa Prita, Cahyana mengingatkan ada dua kata kunci yang disebutkan dalam Pasal 27 UU ITE yang jadi kunci kasus Prita. Kedua kata kunci itu adalah ”dengan sengaja” dan ”tanpa hak”.
Pertanyaannya, apakah Prita memang dengan sengaja mau mencemarkan atau menghina rumah sakit yang pernah merawatnya? ”Menurut saya, Prita tidak dengan sengaja mau menghina atau mencemarkan nama baik karena ia hanya menyampaikan keluhan mengenai apa yang ia alami,” kata Cahyana. ”Hak Prita juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.”
Pertanyaan kedua, apakah Prita memang tak punya hak? ”Menurut saya, Prita jelas punya hak untuk menyampaikan keluhan mengenai apa yang dialaminya. Prita konsumen karena ia pasien dari rumah sakit itu,” katanya.
”E-mail Prita bukanlah penghinaan,” katanya.
Cahyana juga menjelaskan, dalam UU ITE, selain soal unsur ”dengan sengaja”, ”tanpa hak”, alat bukti elektronik juga harus diuji melalui forensik digital terlebih dahulu.
Untuk menahan seseorang, kata Cahyana, seperti diatur dalam Pasal 43 Ayat 6, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu 1 x 24 jam. ”Jadi, ada tahapan yang harus ditempuh,” kata Cahyana.
Soal eksistensi UU ITE, Cahyana menjelaskan, UU ITE berlaku sejak diundangkan 21 April 2008. Adapun dalam Pasal 54 Ayat 2 disebutkan, peraturan pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 tahun setelah UU ini diundangkan.
Bukan tindak pidana
Nada yang sama disampaikan praktisi hukum Amir Syamsudin. Menurut Amir, tindakan Prita menulis surat elektronik berisi komplain atas pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, bukan tindak pidana. Itu karena Prita hanya menulis apa yang dialaminya dan hal itu patut diketahui publik demi kepentingan umum.
Dasar pemikiran Amir berpijak dari isi Pasal 310 Ayat 3 KUHP yang berbunyi ”tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
”Isi e-mail Prita hanya menceritakan apa yang ia alami dan itu adalah kebenaran sehingga Prita tidak bisa dipidana. Jadi, saya sungguh tidak mengerti mengapa ia harus ditahan lalu diadili segala,” tutur Amir.
Amir menyikapi secara kritis penggunaan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, serta Pasal 310 Ayat 2 dan Pasal 311 Ayat 1 KUHP untuk menjerat Prita. Menurut Amir yang juga pengacara itu, Prita tidak bisa dijerat dengan UU ITE karena ia menceritakan kejadian yang ia alami dan itu merupakan fakta.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satryo, menjelaskan, pasal pencemaran nama baik dalam KUHP lebih berdimensi hukum privat ketimbang publik. Dengan demikian, isu pencemaran nama baik lebih tepat jika hanya termuat di dalam KUH Perdata. Rudi cenderung berharap pasal pencemaran nama baik suatu saat dihilangkan dari KUHP.
”Menurut saya sudah seharusnya hilang, lebih besar sifat hukum privatnya daripada hukum publiknya,” kata Rudi.
Dari sisi lain, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Suksmaningsih mengatakan, kasus pengiriman surat elektronik yang menempatkan Prita sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen.
Jakarta, Kompas - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak bisa sembarangan dipakai untuk menjerat warga yang dituduh mencemarkan nama baik orang atau pihak tertentu. Jangan sampai hukum dipakai sebagai alat oleh pemilik modal dan penguasa.
Demikian rangkuman wawancara Kompas, Sabtu (6/6), dengan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dan dua anggotanya, Wikrama Iryans Abidin dan Bekti Nugroho, serta mantan Wakil Ketua Pansus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga anggota Komisi IX DPR, Yasin Kara.
Menurut Leo Batubara, kasus Prita Mulyasari yang dipidanakan karena mengirimkan surat elektronik tentang kekecewaannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit hanyalah satu contoh dari beberapa kasus penggunaan media internet untuk tujuan positif, yang justru berujung pada perkara hukum.
Yang harus diingat, perangkat hukum dibuat bertujuan menciptakan keadilan, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Untuk itu, penegak hukum harus kembali mengacu pada tujuan awal itu setiap kali bertindak.
Menurut Wikrama, sejak awal rencana pembuatan UU ITE, pihak media, termasuk Dewan Pers, tidak pernah dimintai pendapat. Dengan demikian, UU ITE tidak merepresentasikan kepentingan publik, apalagi UU ITE dianggap berpotensi melumpuhkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat, mengkritik, dan mengeluh.
Yasin Kara menyatakan, Undang-Undang ITE tidak perlu dihapus. Namun, jika revisi dibutuhkan, sebaiknya segera dilakukan. Revisi tidak hanya berupa pengurangan materi, tetapi bisa juga berupa penambahan. Terkait dengan Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, penambahan keterangan atau ketentuan patut diberikan agar pasal tersebut tidak menjadi pasal karet.
Dalam kaitan dengan penggunaan Pasal 27, Yasin menilai ada salah kaprah pemahaman dari jaksa penuntut umum. Pasal 27 memang tidak termasuk pasal-pasal dalam UU ITE yang butuh peraturan pemerintah, tetapi penggunaan pasal itu dalam kasus Prita tidak relevan karena pasal itu justru membicarakan soal hak atas suatu informasi.
Landasan hukum
Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Infomatika Cahyana Ahmadjayadi membantah pendapat yang menyebutkan UU ITE bakal menghambat kebebasan berpendapat setiap orang. ”Tidak betul pendapat itu,” ujarnya.
Ia menyebutkan, UU ITE dibuat untuk memberikan landasan hukum transaksi dan komunikasi elektronik, seperti e-business, e-commerce, dan e-banking.
Berkaitan dengan kasus yang menimpa Prita, Cahyana mengingatkan ada dua kata kunci yang disebutkan dalam Pasal 27 UU ITE yang jadi kunci kasus Prita. Kedua kata kunci itu adalah ”dengan sengaja” dan ”tanpa hak”.
Pertanyaannya, apakah Prita memang dengan sengaja mau mencemarkan atau menghina rumah sakit yang pernah merawatnya? ”Menurut saya, Prita tidak dengan sengaja mau menghina atau mencemarkan nama baik karena ia hanya menyampaikan keluhan mengenai apa yang ia alami,” kata Cahyana. ”Hak Prita juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.”
Pertanyaan kedua, apakah Prita memang tak punya hak? ”Menurut saya, Prita jelas punya hak untuk menyampaikan keluhan mengenai apa yang dialaminya. Prita konsumen karena ia pasien dari rumah sakit itu,” katanya.
”E-mail Prita bukanlah penghinaan,” katanya.
Cahyana juga menjelaskan, dalam UU ITE, selain soal unsur ”dengan sengaja”, ”tanpa hak”, alat bukti elektronik juga harus diuji melalui forensik digital terlebih dahulu.
Untuk menahan seseorang, kata Cahyana, seperti diatur dalam Pasal 43 Ayat 6, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu 1 x 24 jam. ”Jadi, ada tahapan yang harus ditempuh,” kata Cahyana.
Soal eksistensi UU ITE, Cahyana menjelaskan, UU ITE berlaku sejak diundangkan 21 April 2008. Adapun dalam Pasal 54 Ayat 2 disebutkan, peraturan pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 tahun setelah UU ini diundangkan.
Bukan tindak pidana
Nada yang sama disampaikan praktisi hukum Amir Syamsudin. Menurut Amir, tindakan Prita menulis surat elektronik berisi komplain atas pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, bukan tindak pidana. Itu karena Prita hanya menulis apa yang dialaminya dan hal itu patut diketahui publik demi kepentingan umum.
Dasar pemikiran Amir berpijak dari isi Pasal 310 Ayat 3 KUHP yang berbunyi ”tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
”Isi e-mail Prita hanya menceritakan apa yang ia alami dan itu adalah kebenaran sehingga Prita tidak bisa dipidana. Jadi, saya sungguh tidak mengerti mengapa ia harus ditahan lalu diadili segala,” tutur Amir.
Amir menyikapi secara kritis penggunaan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, serta Pasal 310 Ayat 2 dan Pasal 311 Ayat 1 KUHP untuk menjerat Prita. Menurut Amir yang juga pengacara itu, Prita tidak bisa dijerat dengan UU ITE karena ia menceritakan kejadian yang ia alami dan itu merupakan fakta.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satryo, menjelaskan, pasal pencemaran nama baik dalam KUHP lebih berdimensi hukum privat ketimbang publik. Dengan demikian, isu pencemaran nama baik lebih tepat jika hanya termuat di dalam KUH Perdata. Rudi cenderung berharap pasal pencemaran nama baik suatu saat dihilangkan dari KUHP.
”Menurut saya sudah seharusnya hilang, lebih besar sifat hukum privatnya daripada hukum publiknya,” kata Rudi.
Dari sisi lain, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Suksmaningsih mengatakan, kasus pengiriman surat elektronik yang menempatkan Prita sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen.
0 comments:
Post a Comment